Pulang kampung.. Sama sekali nggak ada
rencana untuk jalan-jalan, liburan atau apapun. Biar cuma di rumah aja, tapi
rasanya udah senang. Tapi kalau nggak ada kegiatan itu rasanya bingung juga..
Samarinda, 11 Agustus 2012
Kemarin sama sekali nggak kepikiran kalau
hari ini bakal ikut bapak ke ujung utara sana. Tiket aja nggak punya, baju
belum disiapin. Bapak yang udah berangkat duluan, tiba-tiba telepon, “Heh, kamu
mau ikut kah? Bapak tunggu di Cipaganti seberang sana..!!”. Cklek, tuuuut
tuuut.
Nah, kalau udah diajak nggak mungkin nolak.
Siapin baju seadanya, langsung berangkat. Dulu kalau Smd-Bpp rasanya lama
banget, sekarang waktu 2,5 jam perjalanan itu kayak nggak berasa lagi. Nggak
lama udah sampai di Sepinggan, nunggu pesawat terakhir menuju Tarakan. Ini
pertama kalinya ke Tarakan. Paling jauh paling cuma sampai Bontang, 3 jam
perjalanan. Itupun sudah bertahun-tahun yang lalu. Dikasih kesempatan ke utara,
rasanya seneng banget.
Dari Balikpapan ke Tarakan naik pesawat
cuma 55 menit aja. Penerbangan malam ternyata lebih menyenangkan. Suasana kota
yang gemerlapan di malam hari terlihat jelas.
Nggak lama sampai juga di Bandara Juwata,
Tarakan. Tarakan memang kota kecil, tapi tetap ramai dan lumayan menyenangkan.
Sepanjang jalan orang-orang ramai pawai takbiran, padahal lebaran masih delapan
hari lagi. Kembang api, petasan, marching band, arak-arakan rebana mengular di
sepanjang jalan. Untung ada keluarga disini. Kakak sepupu yang menjemput dengan
antusias menjelaskan sekilas tentang kota ini. “Enak bah di Tarakan. Mau ke
bandara dekat Cuma 10 menit aja. Nggak usah jauh-jauh kayak di Samarinda tu.
Makanan banyak, ikan besar-besar, dekat laut pula………….Nah, itu stadion, itu
Kapolres, itu….”.
Itulah… Nah, iseng-iseng ke warung buat
beli minum. Penasaran, barang-barang yang dijual disini buatan dalam negeri
atau buatan negeri tetangga. Ternyata tabung gas ijo 3 kg masih ada. Justru
tabung gas biru khas Pertamina yang nggak ada. Tapi ada tabung gas yang lain.
Tabung baru pertama kali kulihat, mungkin seukuran 12 kg atau 16,5 kg berwarna
hijau dan merah bertuliskan Petronas. Petronas berarti punya Malaysia. Nggak
heran, disini barang impor ada dimana-mana. Kualitasnya memang lebih baik.
“Kak, kenapa masaknya pake tabung
Petronas? Yang tabung biru nggak ada
kah?, tanyaku.
“Bagusan pake Petronas. Isinya pas terus
nggak bocor. Mereka itu nggak main tipu-tipu.”
Nah, kalau sudah konsumen bicara, mau
gimana lagi. Nggak cuma gas, makanan atau sebagainya yang diimpor. Baju
Malaysia pun juga ada yang diimpor. Kalau pernah dengar yang namanya baju Roma,
ya itulah. Jangan sampai tertipu dan akhirnya beli baju macam ini. Di kolom
Koran Kaltara Raya (korannya udah ada, tapi propinsinya belum ada), ditulis
kalau menjelang lebaran begini baju-baju Roma (Rombengan Malaysiaàbaju bekas yang diimpor dari Malaysia) mulai beredar luas. Kalau
sudah begini, konsumen yang harus hati-hati. Biar baju bekas, zaman sekarang
banyak cara untuk menyulap yang bekas jadi baru. Waspada aja..
Kebetulan suami kakak itu kerjanya polisi.
Diceritakanlah susahnya dapat bensin disini. Pom bensin memang ada. Tapi coba
saja beli bensin lewat dari jam 3 sore. Biasanya pom-pom udah pada tutup karena
bensinnya udah habis. Kalau sudah begini, mau nggak mau harus beli di eceran
dengan harga 7000/botol dan isinya kurang dari 1 liter. Berbeda banget, kalau
di jawa banyak pom bensin yang on terus 24 jam. Disini nggak ada. Krisis minyak
di ladang minyak. Klasik…
Diceritakan juga tentang kerusuhan yang
sempat terjadi di Tarakan. Membaca di Koran dengan melihat secara langsung
ternyata memang berbeda. Suami kakak saat itu sedang bertugas dan melihat
sendiri bagaimana keadaannya. Ngilu juga saat mendengar ceritanya.
Istirahat semalam, besoknya (Minggu, 12
Agustus 2012) bangun pagi-pagi terus langsung ke Pelabuhan Tengkayu I. Mau
nyebrang lagi ke Tanjung Selor. Kecamatan Tanjung Selor termasuk dalam wilayah
Kabupaten Bulungan, kabupaten yang nantinya akan menjadi ibukota propinsi
Kaltara (Kalimantan Utara). Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam untuk menyeberang laut
dengan speed boat dari Pelabuhan Tengkayu I di Tarakan menuju Pelabuhan
Penumpang Kayan II di Tanjung Selor
dengan harga tiket 80rb. “Bunyu, Bunyu, Bunyu….Nunukan, Malinau,
Tanjung, Tanjung, Tanjung…!!”, suasana pelabuhan udah macam di Kampung Melayu aja.
Musim liburan gini pelabuhan memang ramai, apalagi orang-orang yang mau keluar
pulau memang melewati pelabuhan ini.
Walaupun nantinya Bulungan bakal jadi
ibukota propinsi, tapi kota ini masih terkesan sepi. Coba saja keluar sekitar
jam 7 malam. Jalanan sekitar dermaga sudah nampak lengang. Menerobos lampu lalu
lintas pun nggak masalah selama nggak ada polisi, karena memang jalanan sepi.
Muter-muter Tanjung Selor, semakin ke ujung yang terlihat kebanyakan
kebun-kebun dan hutan. Bibit-bibit sawit terkadang terlihat memagari jalan.
Daerah transmigrasi juga ada, rumah-rumah kayu warga trans berjajar di sekitar
kebun dan hutan. Tapi kalau soal makanan rasanya dimana-mana, entah Samarinda,
Balikpapan, Jakarta, Tarakan, Bulungan, selalu ketemu yang namanya Warung
Lamongan, Warung Lumajang, Warung Gresik, Warung Tulungagung, Warung Padang,
warung ini, warung itu….. Makanan jawa dan Padang selalu ada dimana-mana.
Sehari di Tanjung Selor, besok paginya
langsung menuju Dermaga Kayan III. Dari dermaga ini kita bisa menuju ke
kecamatan-kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bulungan, terutama ke kecamatan
yang memang hanya bisa dilalui lewat sungai. Transportasi sungainya ada sepit
dan taksi. Jangan bayangkan ada taksi mangkal di dermaga yang berupa sedan
beroda empat, karena yang dimaksud taksi disini sebenarnya adalah sebuah kapal
motor kayu. Masyarakat sini menyebutnya taksi. Sepit sendiri adalah sebuah
kapal cepat yang menampung 5-7 orang. Sepit itu ibaratnya jetski yang berwujud
kapal kecil. Muatan yang bisa ditampung sepit lebih kecil daripada taksi.
Nah, akhirnya memutuskan naik sepit supaya
lebih cepat sampai. Tujuannya menuju Kecamatan Peso, kecamatan yang paling
ujung. Perjalanan sekitar 4 sampai 5 jam. Kalau mau naik sepit perhatikan
waktunya, karena tariff untuk pagi dan siang biasanya berbeda, biasanya
tergantung kesepakatan antara penumpang dengan yang punya sepit. Kalau pagi
biasanya lebih murah, kalau sepit mulai jarang biasanya tarifnya jadi
berlipat-lipat. Apalagi kalau jaraknya jauh, musti pintar nawar. Pertama kali
naik sepit itu rasanya sesuatu banget. Jadi ingat novelnya Tere Liye Aku, Kau,
dan Sepucuk Angpao Merah nih..sepit Bang Borno. Hehehe :D Jarak yang rendah antara sepit dengan
permukaan air membuat kita bisa menyentuh air. Sepit dengan kecepatan tinggi
langsung membelah permukaan Sungai Kayan. Tanganpun langsung menggenggam erat
pegangan sepit, takut jatuh ke sungai. Aku ini sudah nggak bisa berenang, kalau
sudah tercebur ke Sungai Kayan yang airnya coklat keruh dan luas ini,
rasa-rasanya nanti bakal nggak ditemukan lagi. (--,)
Mengemudikan sepit ternyata nggak
sembarangan. Walaupun melaju full speed, pengemudi harus lihai untuk
menghindari gelombang dan batang kayu yang mengapung. Kalau sampai menabrak
batang kayu, sepit ini bakal terbalik dan masuklah semua ke sungai. Rata-rata
yang bawa sepit ini adalah laki-laki khas perawakan Suku Dayak. Ketangguhan
orang Dayak mengarungi sungai yang bergiram-giram memang nggak diragukan.
Seperti bapak yang bawa sepit kami sekarang ini. Ukiran tato di punggung
tangannya seakan-akan semakin menegaskan. Tuas kemudi dimainkan dengan lihai
untuk menghindari giram-giram dan pusaran air Sungai Kayan. Seringkali kalau
ada perahu atau sepit lain yang melintas berlawanan arah, kami saling
melambaikan tangan untuk sekedar menyapa. Perjalanan sepanjang Sungai Kayan
ternyata menyenangkan juga. Kanan kiri tepian sungai adalah deretan hutan
lebat. Sesekali ada juga desa-desa penduduk di tepian sungai ini. Desa-desa
yang ada selalu memiliki dermaga kecil untuk menambat perahu dan di beberapa
desa ada kios untuk mengisi bahan bakar. Perahu atau sepit yang kehabisan solar
di tengah jalan bisa refill disini. Kios BBM ini hanya berbentuk bangunan rumah
kayu terapung sederhana yang ditopang batang-batang kayu besar dan drum-drum bekas
agar bisa tetap mengapung di atas sungai.
Sudah beberapa desa yang terlewati.. Desa
Long Sam, Long Lembu, Long….., Long….., Long. Entah sudah berapa “Long” yang
dilewati. Nama desa disini memang selalu berawalan kata Long. Sama saja dengan
beberapa daerah disini yang selalu berawalan kata Loa. Loa Bakung, Loa Janan,
Loa Duri…. Entah apa arti kata Long dan Loa itu sendiri.
Semakin menuju ke hulu, semakin jarang desa
yang terlihat. Yang terlihat hanya deretan hutan di sepanjang tepian sungai
atau terkadang terlihat aktivitas penggalian pasir dan penebangan pohon untuk
diambil kayunya. Sesekali saat melewati tikungan sungai, terlihat tebing-tebing
tinggi yang seolah memagari hutan. Semakin lama hanya hutan-hutan yang tampak
dan semakin membuatku berpikir, “Inikah yang namanya pelosok?” . Hanya deru
mesin motor sepit sekian PK ini yang terdengar. Waktu 5 jam perjalanan ini
ternyata cukup untuk membuat punggung tanganku yang sedari tadi terus menyentuh
permukaan sungai menjadi gelap karena terbakar matahari. Sementara perjalanan
semakin mendekati arah hulu, sepit ini terus melaju full speed sambil
terlompat-lompat karena melewati gelombang dan giram-giram yang semakin besar.
Nggak terasa waktu 5 jam terlewati dan
akhirnya sampai di tujuan. Di Desa Long Bia, Kecamatan Peso, Kabupaten
Bulungan. Sebenarnya semakin ke hulu sana masih ada desa lain, tapi sudah tidak
bisa ditempuh dengan sepit lagi. Semakin ke hulu, sungai menjadi semakin
dangkal, pusaran semakin besar, dan giram-giram semakin ganas. Hanya bisa ditempuh
dengan perahu kayu tradisional berbekal mesin motor beberapa PK. Bukan
sembarang orang yang bisa mengendalikan perahu ini. Hanya orang-orang yang
benar-benar berpengalaman. Tak jarang terdengar kabar perahu hancur karena
menabrak giram dan penumpangnya tewas atau mesin motor rusak karena menghantam
batu. Kalau mau melewati hulu, mungkin bisa dibilang harus siap nyawa. Kalau
hanya sekedar untuk jalan-jalan atau main-main, lebih baik nggak usah pergi.
Desa Long Bia. Kupikir nggak bakal
menemukan peradaban disini. Eh ternyata masih ada sinyal TV. Tower Telkomsel
pun ternyata ada disini. Untung pakai Telkomsel. Hehe.. SD, SMP, SMA ternyata
juga ada walaupun hanya bangunan sederhana. Rumah-rumah disini berupa rumah
panggung kayu sederhana yang sesekali berukiran khas Kalimantan. Rumah paling
bagus ya rumahnya Pak Camat, rumah beton yang dicat apik.
Ini bulan Ramadhan, yang kukhawatirkan
adalah bagaimana menentukan arah kiblat, karena kupikir nggak ada masjid
disini-karena muslim memang minoritas. Tapi ternyata Alhamdulillah, ada juga
masjid. Sebuah masjid kayu yang berbentuk panggung, dan di sebelahnya ada lagi
masjid beton yang baru dibangun dan megah. Awalnya aku bingung, di pelosok
seperti ini ternyata ada masjid indah walaupun muslimnya minoritas. Entah bagaimana
caranya, tapi ini sangat membuat kagum. Malam shalat Tarawih di masjid ini
memang masih sepi. Satu saf paling depan pun tidak terisi penuh. Tapi suatu
saat InsyaAllah satu masjid ini bakal penuh.
Malam-malam melewati sudut jalan di desa
ini, itu seram. Lampu jalan hanya ada di beberapa sudut saja. Paling malas
rasanya kalau harus lewat jalanan yang gelap. Anjing berkeliaran, kalau-kalau
dikejar anjing mana tahu lagi. Kalau lewat jalan gelap, mata terus ke depan
aja, nggak usah toleh kanan-kiri, bikin parno. Suara daun-daun yang bergesekan
dan jangkrik di jalanan gelap bikin tambah seram aja.
Meskipun ada di tepi sungai dan di tengah
hutan, tetap aja kalau siang hari panasnya nggak ketulungan. Cukuplah untuk
menghitamkan kulit.
Cukuplah semalam tinggal di Long Bia.
Besoknya langsung balik lagi ke Tanjung Selor. Sebelumnya sempat mampir dulu ke Tanjung Palas. Teringat bapak cerita,
kalau 30 tahun yang lalu SK pertamanya keluar untuk mengajar di Tanjung Palas.
Padahal Tanjung Palas sekarang aja masih desa sekali. Bagaimana pula Tanjung
Palas 30 tahun yang lalu..
Sempat di Tanjung Selor beberapa hari ,
kemudian balik lagi ke Tarakan. Akhirnya tanggal 17 Agustus 2012 mau balik lagi
ke rumah. Balik ke rumah sudah macam Kabayan pulang kampung aja lagi. Bawaannya
beras, bandeng, udang, ikan asin. Hehe. Yang khas dari sini memang biasanya
hasil-hasil laut, karena wilayahnya memang dikelilingi laut. Ikan-ikan kualitas
ekspor disini memang mantap. Selain hasil laut, beras asli sini pun nggak kalah
bagusnya. Beras Krayan hasil para petani Dayak memang berkualitas tinggi dan
gizinya baik. Beras jenis inilah yang diekspor ke Brunei Darussalam dan menjadi
konsumsi di Kesultanan Brunei. Beras Krayan ini biasanya dihargai sekitar
25rb/kg. Memang agak mahal kalau dibandingkan dengan beras yang biasanya, tapi
nggak ada salahnya dicoba.. Kata kakak, di Tarakan sendiri beras ini memang
agak jarang dan biasanya ada pada saat pasar Dayak yang biasanya seminggu
sekali.
Pengalaman kali ini mungkin adalah
pengalaman yang biasa buat sebagian orang, tapi buat saya ini terlalu sayang
untuk dilupakan. Semoga ada kesempatan lagi kesini.. ^____^